(#BukuUntuk2024)

Selesai baca buku ke-1
Pelangi di Atas Gelagahwangi: Drama Cinta di Senja Kala Majapahit – S. Tidjab
Qanita, Bandung (2008)
704 halaman
Lama baca: 1 Januari – 6 Maret 2023

Intro

Buku ini sebenarnya sudah begitu lama menjadi wishlist, mungkin sejak awal sekolah menengah atas. Namun entah kenapa, terlupa begitu saja, maklum tidak benar-benar aku buat listnya atau mungkin tepatnya hanya sebagai keinginan. Hingga pada akhirnya, buku ini tidak lagi dijumpai di toko buku. Muncul sebagai buku bekas tahun lalu dan aku pinang dan kali ini memberikan kesempatan untuk membacanya. 

Blurb

Novel ini berlatar masa keruntuhan Majapahit dan berdirinya Demak Bintoro sebagai kerajaan Islam di tanah Jawa. Novel ini lebih menekankan aspek romantisme dalam mengemas cerita Mpu Janardana, Kembang Sore, Endang Puspitasari, dan Endang Kusumadewi. 

Review

Dari sampul dulu seperti biasanya. Novel ini sebenarnya memiliki sampul menarik dengan ilustrasi seorang wanita yang memegang pedang berada di semacam daerah ilalang dan terdapat latar Masjid Demak. Sosok wanita menggambarkan seorang pendekar wanita dengan rambut legam.

Sampul benar-benar menggambarkan kondisi akhir cerita. Relevan sekali. Pembaca yang belum menuntaskan hingga akhir novel ini bakalan menebak sosok siapakah tersebut, tetapi jika mengkhatamkan, pasti akan mengetahui siapa yang pantas berada di sosok tersebut. Sangat berkaitan dengan cerita dalam novel ini.

Novel ini bercerita dengan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Sudut pandang ini memudahkan penulis untuk mengacak bagian-bagian di dalam cerita. Bahkan, konsep dari penulis setiap tokoh memiliki kisah sendiri. Sudut pandang orang ketiga sangat memudahkan sekali. Rasanya seperti nostalgia dengan cerita dengan latar sejarah ala-ala cerita silat. 

Sebagaimana kebiasaan novel bergenre sejarah kolosal seperti ini, tokoh yang muncul sangat banyak sekali. Dalam cerita ini yang menjadi tokoh utama antara lain Mpu Janardana, Woro Kembangsore, Endang Puspitasari, Endang Kusumadewi. Pendukungnya banyak dan sampirannya sangat banyak, seperti Resi Wiyasa, Rake Hambulu, Raden Patah, Adipati Pecattanda, dsb. 

Meskipun banyak, penulis hanya memperhatikan beberapa tokoh saja untuk dipoles karakternya. Terutama nama-nama tokoh yang sering kali muncul pasti penulis memberikan pembentukan sifat-sifatnya. Cara untuk membentuknya disampaikan melalui narasi maupun dialog antar tokoh. 

Konflik dalam novel ini cukup kompleks. Aku membaginya menjadi dua, konflik utama (drama percintaan) dan konflik cerita. Berkaitan konflik utama, sepertinya masuk ke kategori konflik domino yang satu konflik memicu konflik lain hingga penyelesaiannya. Konflik cerita dalam novel ini lebih tematik, bahkan ada yang sekali selesai. 

Jalannya cerita di bagian awal cukup lambat sekali. Pertengahan hingga akhir sebaliknya, cerita berjalan sangat cepat. Rasanya banyak adegan yang dilewati. Seperti pada bagian awal cukup memperhatikan bagian detailnya. Sedangkan di pertengahan, detail-detail seperti diabaikan. Hal ini sebenarnya cukup menganggu dalam pembacaan.

Dari segi literasi, aku beberapa menyangsikan data fakta yang ditampilkan. Menurutku, novel berlatar sejarah tetap harus menggunakan data sejarah yang mendekati nilai kebenaran. Meskipun tetap tidak bisa menjamin keaslian sejarah tersebut, tetapi proses penelitian yang dilakukan oleh penulis sangat berpengaruh terhadap karya yang dihasilkan. Meskipun karya tersebut tergolong fiksi.

Novel ini lebih menekankan aspek cerita percintaan. Meskipun beberapa ada kosakata pendekar, padepokan dan kanuragan, tetapi semua itu hanya sebagai bumbu saja bukan menjadi konsenstrasi utama cerita ini. Bahkan, perang yang terjadi juga tidak menemukan adegan epik keprajuritan segelar sepapan.

Buku ini terbit cukup lawas. Aku pernah melakukan pencarian buku ini di toko buku sudah tidak lagi ditemukan. Aku menemukannya sebagai bekas dengan kondisi cukup baik. Jika berminat membaca buku ini artinya harus mencari dengan susah payah dahulu. Buku ini tetap menarik untuk dinikmati, imajinasi tetap memiliki dunianya dalam menggambarkan cerita novel ini. 

Aku pun menuliskan catatan pada saat proses membacanya dengan sebuah thread, yang dapat diakses melalui https://s.id/dalifnun-pelangigelagahwangi 

Quote

“Orang yang dijangkiti rasa dendam tidak mampu berpikir sehat lagi. Dia akan terseret oleh hawa nafsu yang dikendalikan kuasa kegelapan” — Resi Wiyasa (h. 66)

“Rasa tidak bisa menipu. Rasa adalah sebuah kejujuran.” — Resi Wiyasa (h. 570)

Rate

****/*