Search

el suyuthi

aku tak abadi, tidak untuk tulisanku

Category

Sajak

Sajak

Sepotong Hati di Angkringan

(#BukuUntuk2022)

Selesai baca buku ke-12
Sepotong Hati di Angkringan – Joko Pinurbo
DIVA Press, Yogyakarta (2021)
80 halaman
Lama baca: 16 April – 23 Agustus 2022

Intro

Buku puisi selalu menjadi selingan. Ah, ini seharusnya perlu dihentikan. Padahal jika melihat komposisinya, buku puisi bisa selesai dalam sekali duduk. Buku ini kupilih setelah menyelesaikan baca Tokoh-Tokoh yang Melawan Kita dalam Satu Cerita karya Aan Mansyur. 

Sakitnya, pada tengah-tengah membaca, buku ini direproduksi dengan edisi revisi. Aduhai, paran nian, baru baca eh buku edisi barunya muncul. Terlalu lama di tumpukan to be read memang tidak baik.

Continue reading “Sepotong Hati di Angkringan”

Pecah

Aku bertahan dengan sakit yang begitu dalam
Berdiri mematung dengan asa yang buntung
Memaksa rintih dari rasa yang ditindih
Ingin berlari tapi tidak bisa aku pergi

Hati berkeping-keping laksana pecahan piring
Terserak begitu saja, begitulah adanya
Tak dipungut kemudian disatukan
Karena dirimu lantas pergi meninggalkan

Berdiri dengan lebam begitu dalam
Berlari, tapi dengan satu kaki
Terjatuh dengan hati yang lumpuh
Bertahan dengan segenap perasaan

Semua yang terlimpah tak pernah ku unggah
Membiarkan yang terjadi menjadi sebuah pelajaran yang paling berarti
Memberikan setiap goresan makna yang terkandung dalam petuah bijak orang tua
Biarpun berdiri dengan satu kaki tak pernah untuk berhenti kembali berlari
Terjatuh berulang kali pun tak mengapa asal melihat dirimu tersenyum bahagia

Biar saja aku yang pecah hatinya, tak dapat lagi disatukan meski ku temui penggantinya
Biar saja aku yang lebam membiru, asal dirimu bahagia selalu

D.3.9.2020

Dua-dua

Ingat,
kemudian berjingkat

Kenang,
lantas menghilang

Rindu,
lalu menjadi candu

Lantas,
salahkan aku?

D.16.9.20

Suram

Aku malam dari gelap
menikmati kopi sesap
rokok yang berasap
membebaskan pengap

Dari sudut senja lalu
aku menjadi kelabu
terlalu samar tanpa lampu
datanglah malam, melahapku

Begitulah, aku menjadi malam
menyuram

D.31.10.21

Berita dari Kabar

Kabar-kabar tak sampai
jarak-jarak menyuram
tanda-tanda menghilang
tiba-tiba menghempas

Tak ada gelap
terang yang kuasa
angin yang embus
menenangkan!
di balik riuhnya
kabar lara

D.2.3.21

Genggam Rindu

Bias senja yang terukir di angkasa
Menyibak gundahku yang sedang terluka
Di bibir pantai, aku berdiri mematung
Menantang senja dengan harapan yang buntung

Satu-satunya rindu yang ku punya
Yang ku genggam sepanjang masa
Tak pernah pergi, sampai jiwa ini murca

Langit,
Ada jiwa yang sepi kini
Apakah kau akan menemani?

D.15.6.2020

Menikmati Kehilangan

Saat-saat bayangmu menghantui, aku memilih untuk datang menikmati
bukannya menyingkir atau beralih berjalan di pinggir
aku songsong bayangmu itu dengan segenap perasaanku padamu

Kenangan, satu-satunya hal yang terus menjadi ancaman
menjadikan aku sebagai bulan-bulanan
Dihajar habis-habisan
dikuras segenap kesadaran yang ada menuju jurang yang menganga
dihisapnya diriku yang separuh jiwanya hilang
separuh tubuhnya tercincang
dan aku, hanya bisa berteriak kencang dan panjang
mengabarkan duka laraku yang mengerang

Lara, tanggal sayangmu yang kau tinggalkan
berbekas menjadikan kubangan-kubangan yang sanggup dapat menjatuhkan
diriku yang tak lagi utuh, jiwanya yang hanya separuh
dapat sewaktu-waktu menjadi lumpuh, tak dapat mengendalikan rindu yang cepat tumbuh

Hilangmu seperti tangis bayi di malam hari
ketakutan, menjadikan segenap rasaku pun turut meningkatkan kewaspadaan
setelah kau murca, aku tak lagi harap kau mengusik diriku berada
tapi hantu bayangmu yang bergentayangan menjadikan aku ketakutan

Aku nikmati dengan rasa cintamu yang tidak pernah mati
tetap terjaga dan ku pertahankan hingga kapan aku kembali menemukan
biar saja, ada usik bayangmu dalam hidupku
mewarnai hilang yang tak pernah terbayang
aku menikmati, rindumu, bayangmu, kenangmu dan segala tentangmu


D.20.8.20

Demi Sebuah Senja

Hanya demi senja
Seorang Pujangga berdiri mematung di pinggir kota
Menyaksikan perpisahan dengan seksama
Mengamati perubahan di ujung cakrawala
Dengan melukiskan cerita
Dalam bait-bait nestapa
Dikisahkannya duka
Menggores dalamnya luka
Meski tak ada darah, tak ada yang menganga
Tapi, disayatkannya pena dengan penuh rasa
Meski sedih, tak ada air mata
Disekanya dalam diam senja

Hanya demi senja
Seorang Pujangga memandang lekat kepergian
Bait-bait yang disayatkan
Menangisi sebuah perpisahan
Tanpa lelehan
Tanpa arti pamitan
Tanpa harapan

Bukan
Hanya demi senja
Tetapi
Untuk sesosok yang murca

Seorang Pujangga
Menuliskan bait-bait duka lara


D.27.7.20

Merasakan Mati

Teriris setelah terbelah
tertimpa setelah terjatuh
dan setelahnya aku merasa
pedih, perih, duka dan lara
menjadi perkumpulan arisan
silih berganti menggerayangi
berulang kali berganti
hingga aku tak lagi rasa
lalu aku mati adanya

D.3.8.21

Tak Pelak

Bagaimana aku bisa mengelak
Bayangmu terus meninggalkan jejak
Meski tidak ku panggil hadirnya
Tetapi, selalu hadir tiba-tiba
Memberikan kejut debar
Menuntut aku untuk bersabar
Dengan sisa kesadaran yang ada
Aku harus berdamai dengan suasana
Meski bayangmu terus dapat hadir
Mengancam kewarasan hingga titik nadir
Aku tak dapat mengelak
Mengancamku dengan telak
Aku kemudian pasrah
Meski ancaman bayangmu tak lelah

D.24.7.20

Ketentuan Ucapan

Ucapan tak lagi bermuka
Malu disembunyikan
Dibalik ketiak
Dibalik topeng-topeng
Dibalik kiasan-kiasan
Dibalik perumpamaan-perumpamaan

Ucapan tak lagi dihormati
Diinjak dibawah kuasa
Menjadi budak
Dipaksa bekerja
Menuruti kehendak manusia

Ucapan, harus ditampilkan dimana
Ketika disembunyikan
Dan tak lagi dihormati
Sebagai sebuah ucapan

D.11.2.21

Gerutu dari Kehilanganmu

Rapal rinduku yang tidak henti-hentinya
Ku sebut namamu yang tak pernah bisa ku lenyapkan dari rasa

Kehilanganmu adalah ujian terbesarku
Kehilanganmu adalah hal yang terbayangkan pun tidak
Kehilanganmu adalah kesalahan terbesarku
Kehilanganmu adalah ungkap sesal yang terdamaikan pun tidak

Negasi rasa kehilangan yang tersembunyikan di balik senyum
Melepaskan dengan alasan yang diputuskan dalam diktum
Kehilangan terberatku adalah melepaskanmu yang ku sayang
Rinduku tak lagi berlabuh dan bersandar di dermaga yang bergelombang

Memaknai segenap rindu yang tersisa atasmu
Rerindu ini tetap ada untukmu
Dari lubuk yang tak mampu untuk pergi
Memilih mematung, menunggu rindumu kembali

D.3.8.20

Kebenaran

Benarkah demikian
kebenaran hanya untuk satu golongan?

Aku bertanya kepada semesta:
“bukankah kebenaran hanya milik-Nya?”

Kita hanya punya klaim atas rasa benar
meski benar-benar salah
kita hanya punya klaim atas satu kebenaran
kebenaran yang latah

D.16.11.2020

Sebuah Percakapan

Dari percakapan kita mendengar
keluh malam dari padatnya siang
bersama desau yang meracu
cerita hidup begitu pengar
mengiris empati, lalu tersebar

Dari secangkir kopi Toraja
hingga Lintong, dekat Toba
percakapan kita ribuan mil
masalah besar hingga kecil
merekatkan, mendekatkan
mengaduk rasa dari nestapa
menciptakan empati dari rasa yang mati

Lalu, percakapan kita terhenti
diakhiri dengan titik tanpa koma — lagi
hingga suatu saat, akan jadi cerita
percakapan panjang kita
di malam hari, ditemani kopi

D.20.9.21

Seorang Pejalan Yang Patah

Ada yang berjalan
dengan langkah pilu
disusurinya jejak lalu
gontai sebagaimana kapas
ringan oleh angin terempas
matanya sayu, tanpa arah tuju
dikenangnya langkah sebelum
hilang sebagaimana harum
yang tak butuh waktu lama
untuk menjadi murca
berjalan saja & diam saja
jalan saja hingga beratmu tiada

D.29.5.21

Usik Mengusik

Ada usik yang berisik
seperti panggilan sayangmu, -zik
terus menjadi bayang langkah
semestinya tertanggal
usai akad kemarin siang
menjadi kelabu halu-ku
membayangi jejak
semu wujudmu tampak
menghantui
kulupa, tak bisakah?
sudah kujatuh
tertimpa kenangan pula
detik demi detik tetap berjalan
usikmu yang terus bertahan


D.20.7.20

Tentang Kepedihan

Rasakan saja pedihnya
mengiris asamu yang pernah utuh
mengira dari juangmu penuh
tak kau temui, luruh

Mengombak
jadikan hatimu bagai pantai
menampung deburan detak
tak henti-henti meronta
dari dekap harap dan buai

Meggoyak
menghamburkan bagai badai
pecahan asamu terserak
puing-puingnya tersebar
dengan rasa tak sabar

Pedih yang berkuasa
mengambil alih semuanya
dengan paksa
lalu yang kau rasakan, siksa

D.17.9.21

Sepeninggalmu

Aku memeluk malam sepeninggalmu
di bulan Juli yang sendu
lalu Agustus yang memilu
menyelimuti malam dengan dingin

Sepeninggalmu yang lalu
malam tak lagi desah
hanya menyisakan beberapa resah
tiada perjumpaan yang tiba
lalu memaknai perpisahan
untuk kembali datang
— memeluk malam

Namun, tak ada namamu terkubur
setelah kusiram dengan rutin
lalu tanda tumbuh dengan subur
namamu menjadi akar, bukan daun
tidak ada yang tercerabut
bukan pula, yang selalu gugur

Sepeninggalmu, malam dingin
lalu namamu menggigil

D.11.8.21

Pemburu

Aku yang akan terus menyusuri malam
Setiap senja yang berakhir kelam
Cahaya yang pergi untuk meninggalkan
Aku dipaksa untuk hidup dalam kedamaian, ketenangan,
Kesunyian yang dipaksakan

Malam menjadi sebuah mimpi buruk yang harus selalu dilalui dengan kutuk
Kenangmu, seperti hantu yang tiba-tiba datang memburu
Kemanapun aku bersembunyi
Bayangmu selalu menanti untuk menghantui

Lewat tengah malam
Aku harus berdamai dengan alam
Koak gagak menjadi lebih menakutkan
Dan hadirnya bayangmu yang tak pernah ku nantikan
Datang dengan nada ancaman
Memburui diriku hingga tak lagi dapat bersembunyi
Di bawah meja
Di balik korden jingga
Di kolong sofa
Semua berakhir sama
Bayangmu berhasil menjadi juara

Maka setiap malam tiba
Aku harus selalu merapal doa-doa

D.27.8.20

Pak Tom Yang Tua Itu

Tom, petani tua itu
memandang rumah yang kosong
dengan tatapan yang kosong

Tom, berjalan ke arah persawahan
dipandangilah dengan penuh harapan
mengangkat luka dan penderitaan

Tom, petani itu bersujud menghadap kota
menangisi kepergian anaknya
yang tak ingin kembali ke desa

D.24.8.21

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑