(#BukuUntuk2022)

Selesai baca buku ke-3
Syaikh Siti Jenar: Suluk Sang Pembaharu (Buku Kelima) – Agus Sunyoto
Mizan, Bandung (2017)
322 halaman
Lama baca: 2 Maret–15 April 2023

Intro

Sebagaimana keinginan menikmati Ramadhan dengan membaca novel Agus Sunyoto, tahun ini masih ditemani buku kelimanya. Buku terakhir bakalan menjadi bahan bacaan tahun esok. Vibes Ramadhan dan cerita Syaikh Siti Jenar memiliki kelindan yang membangun perjalanan transenden. Ibaratnya, membaca novel ini seperti ngaji eventuil berupa Ngaji Pasan dari kitab yang dikarang oleh Syaikh Agus Sunyoto.

Blurb

Novel ini menceritakan perjalanan Syaikh Abdul Jalil di Majapahit. Setengah cerita berlatar belakang kejadian-kejadian yang terjadi di wilayah Majapahit. Setengahnya lagi bercerita kejadian di Caruban dan peperangan dengan Rajagaluh (Pajajaran). Terdapat pula perjalanan spiritual yang dilakukan Abdul Jalil sebagai bentuk konsekuensi seorang yang terpilih.

Review

Mengulas materi muatan sepertinya akan lebih efektif. Meninjau sampul karena tidak jauh berbeda dengan sampul seri lainnya dirasa tidak begitu penting. Perbedaannya sangat tipis sehingga akan sia-sia jika terlalu panjang lebar membahas filosofi yang dikandung pada sampulnya.

“Mantri Herhaji” jabatan ini baru kutemukan pada novel ini, sepanjang membaca novel berlatar Majapahit aku tidak ingat ada jabatan ini yang sering disebut. Kedudukan Mantri Herhaji yaitu setara dengan jabatan Dharmadyaksa ring Kasogatan dan Dharmadyaksa ring Kasiwan. Tugas utama dari Mantri Herhaji yakni mengawasi bangunan-bangunan suci para Rishi. Pada era sekarang, Rishi dikenal sebagai Resi, dialihbahasakan dari bahasa Sansekerta.

Aku merasakan agak berbau liberal pada percakapan yang terjadi antara Abdul Jalil dan Wiku Suta Lokeswara (adik Rishi Punarjanma). Meskipun percakapannya menarik, akan tetapi apabila pembaca yang budiman tidak berbekal pengetahuan teologis yang cukup maka akan sedikit berbahaya. Maklum, thoriqoh yang dianut oleh Abdul Jalil memang “aneh” sehingga wajar saja jika ada interpretasi yang berbeda dengan jumhur. 

Tersebutlah Nirartha, putra dari Rishi Punarjanma, yang sebelumnya sedang melawat ke Bali diminta untuk kembali ke Daha. Setelah tercerahkan atas penjelasan-penjelasan Islam ala Syaikh Abdul Jalil, Nirartha berbaiat kepada Syaikh Abdul Jalil. Setelahnya mereka kabur dari Puri Wiku Suta Lokeswara karena dampak dari Paregreg.

Hal yang spesial menurutku yaitu sejarah munculnya Adipati. Hal yang jarang diulas dalam novel-novel transisi Majapahit ke Mataram. Pada dasarnya, basis wilayah Adipati adalah Kabuyutan, atau dalam bahasa lain yaitu Wisaya. Satuan Wisaya merupakan kumpulan Thani (tanah perdikan atau bisa disebut sebagai Desa) yang dipimpin oleh Rama. Jadi, aslinya Adipati adalah Ki Buyut.

Bagian hal aneh adalah pembawaan informasi apabila tradisi peringatan kematian tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari dan haul berasal dari asimilasi budaya Champa. Pada saat yang sama, digambarkan jikalau Syaikh Abdul Jalil merupakan golongan “agak” puritan. Cukup aneh sebetulnya memperhatikan situasi ini dari kacamataku. 

Kalau soal ini, aku cuma otak-atik gatuk atau cocokologi. Disebutlah sebuah wilayah dengan nama Wanasalam di Jawa Timur, diantara dua daerah yang berkonflik yaitu Terung dan Daha. Jika coba ditelusuri, hanya disebutkan ada hutan di belakang istana Majapahit yang bernama Wanasalam. Jejak itu, sekarang hilang dan menyisakan nama Wanasalam di Demak. Kalau Kedudukan wilayah ini kemungkinan besar di sekitar Jombang. Lalu bahwa Patih Wanasalam, Patih Demak Bintoro berasal dari wilayah tersebut. Setelah menjabat menjadi Patih, tempat yang menjadi rumahnya dinamai dengan Wanasalam, dan bertahan hingga sekarang.

Sebetulnya, ada satu tempat lagi, yaitu Surabaya. Akan tetapi untuk kali ini tetap coba kutahan untuk bercerita. Biarkan mencari sendiri kisahnya di novel seri ini. Sangat terkagum bagaimana cara Kyai Agus Sunyoto mengemas sejarah itu menjadi sebuah cerita yang logis. Cukup cerdik juga. 

Aku sangat berkesan dengan cerita yang berlatar belakang Majapahit. Mungkin karena menyangkut kakek buyutku, Adipati Pecat Tandha Terung. Jelas berbeda sekali tatkala Kyai Agus Sunyoto bercerita dengan latar Caruban. Hanya aku saksikan perang-perang dan perang. Entah keseruannya kenapa menjadi berangsur padam, aku tidak mengerti. Bisa juga karena terlalu menjemukan dengan konsep tatanan masyarakat-umat yang cenderung muluk-muluk atau tidak menemukan vibes perang ala-ala SH Mintardja.

Banyak sekali hal yang dapat diulas dari novel ini. Perihal itu dikarenakan sejak awal Kyai Agus Sunyoto sudah berpesan apabila beliau menggunakan data-data yang diperoleh ketika menelusuri Syaikh Siti Jenar. Dengan demikian, hal yang disampaikan cukup memberikan materi muatan yang bersubstansi, bahkan bisa juga untuk diperdebatkan. Termasuk soal Walisongo.

Buku Kelima ini kembali harus bergulat dengan nama-nama tokoh yang berkembang. Terlebih pada saat peperangan dengan Rajagaluh. Lengkap beserta penokohannya yang juga bervariatif sehingga perlu mendamaikan suasana membaca. Setting tempat dua wilayah, Majapahit dan Caruban. Terlebih pada dasarnya cerita aslinya adalah pertemuan antara Syaikh Datuk Bardud dan Raden Ketib, bukan kisah Syaikh Abdul Jalil. 

Aku pun menuliskan catatan pada saat proses membacanya dengan sebuah thread, yang dapat diakses melalui https://s.id/dalifnun-sitijenar5

Quote

“Semua orang ingin menang sendiri. Semua orang ingin menjadi penguasa tanpa mengukur kemampuan diri.” — Abdul Jalil (h. 169).

Rate

****/*